A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
198. Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur
lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.
199. Pendelegasian
kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang
lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang
lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
yang lain.
200. Pendelegasian
kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan
yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
201. Jika
materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokokpokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus
diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak
boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur
dengan … .
202. Jika
pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan
atau berdasarkan … .
203. Jika
materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di
dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu
harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan
tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan … .
204. Jika
pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi)
digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .
205. Jika
terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut
tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan, gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur
dalam ….”
206. Jika
terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang
didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis
Peraturan Perundangundangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan ...”
207. Untuk
mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang akan dibuat,
rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai
apa yang akan diatur lebih lanjut.
208. Jika
pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
209. Jika
pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan
untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada
dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
210. Dalam
pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko.
211. Pendelegasian
kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga
pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi
untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
212. Kewenangan
yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika
oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan
untuk itu.
213. Pendelegasian
kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang
setingkat.
214. Pendelegasian
langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat
diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah
daripada Undang-Undang.
215. Peraturan
Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma
yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan,
kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
216. Di
dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan
yang terdapat dalam Peraturan Perundangundangan lebih tinggi yang
mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau
ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk
merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal
atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya.
B. PENYIDIKAN
217. Ketentuan
penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi
atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
218. Ketentuan
penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil
kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi tertentu untuk
menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah
Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
219. Dalam
merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai
negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk
melakukan penyidikan.
220. Ketentuan
penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan
pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan
pidana.
C. PENCABUTAN
221. Jika
ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti
dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang
baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak
diperlukan itu.
222. Jika
materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu
penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan Perundang-undangan
yang lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas
diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Perundang-undangan yang
lama.
223. Peraturan
Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan
yang setingkat atau lebih tinggi.
224. Pencabutan
melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan
jika Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung
kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah yang dicabut itu.
225. Jika
Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah
diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu
dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan
Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
226. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku,
dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik
kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
227. Jika
pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan
tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal
yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat
ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang
sudah diundangkan. b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
228. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan
Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan
Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara
tegas.
229. Peraturan
Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku,
meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut
pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
230. Perubahan
Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
a. menyisip
atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundangundangan; atau
b. menghapus
atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundangundangan.
231. Perubahan
Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:
a. seluruh
atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b. kata,
frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
232. Jika
Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan
Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan
Perundang-undangan yang diubah.
233. Pada
dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2
(dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a. Pasal
I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau
norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi
perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
b. Jika
Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, Pasal I memuat,
selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari
Peraturan Perundangundangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda
baca kurung dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya).
c. Pasal
II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II
juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan
perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan
Perundangundangan yang diubah.
234. Jika
dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian,
paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut
dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
a. Penyisipan
Bab
b. Penyisipan
Pasal
235. Jika
dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru,
penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat
yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di
antara tanda baca kurung( ).
236. Jika
dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab,
bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal,
atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
237. Jika
suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a. sistematika
Peraturan Perundang-undangan berubah;
b. materi
Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c. esensinya
berubah, Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut
dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai
masalah tersebut.
238. Jika
suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga
menyulitkan pengguna Peraturan Perundangundangan, sebaiknya Peraturan
Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan
perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:
a. urutan
bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;
b. penyebutan-penyebutan;
dan
c. ejaan,
jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
E.
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
239.
Batang tubuh Undang-Undang tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang- Undang
pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu
sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang yang diikuti
dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan Undang-Undang penetapan tersebut. b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai
saat mulai berlaku.
F.
PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
240. Batang
tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pada dasarnya
terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai
berikut: a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat
pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia. b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
241. Cara
penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan
internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan
perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan
Presiden.
Sumber:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar