C.
BATANG TUBUH
62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
- a. ketentuan umum;
- b. materi pokok yang diatur;
- c. ketentuan pidana (jika diperlukan);
- d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan
- e. ketentuan penutup.
64 Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
65. Jika
norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari
satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal
terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan
sanksi administratif dalam satu bab.
66. Sanksi
administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,
pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa
polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
67. Pengelompokkan
materi muatan Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis
dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
68. Jika
Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya
sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut
dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan
paragraf.
69. Pengelompokkan
materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar
kesamaan materi.
70.
Urutan pengelompokan adalah sebagai
berikut:
- a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf;
- b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau
- c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal.
71. Buku
diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis
dengan huruf kapital.
72. Bab
diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis
dengan huruf kapital.
73. Bagian
diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi
judul.
74. Huruf
awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis
dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal
frasa.
75.
Paragraf diberi nomor urut dengan angka
Arab dan diberi judul.
76. Huruf
awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan
huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa.
77. Pasal
merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundangundangan yang memuat satu
norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan
lugas.
78. Materi
muatan Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal
yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing
pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan yang menjadi isi pasal itu
merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
79. Pasal
diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan
huruf kapital.
80.
Huruf awal kata pasal yang digunakan
sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
81.
Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa
ayat.
82. Ayat
diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri
tanda baca titik.
83. Satu
ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
84. Huruf
awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
85. Jika
satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan dalam bentuk kalimat
dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam bentuk tabulasi.
86. Penulisan
bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka Arab diikuti dengan
kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung.
87. Jika
merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, memperhatikan ketentuan
sebagai berikut:
- a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka;
- b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik;
- c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
- d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
- e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
- f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
- g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan
- h. pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat lain.
88. Jika
unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif,
ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian
terakhir.
89. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata
atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
90. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif,
ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari
rincian terakhir.
91.
Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu
diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a,
huruf b, dan seterusnya.
93. Jika
suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan
angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
94. Jika
suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu
ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.
95.
Jika suatu rincian lebih lanjut
memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2),
dan seterusnya.
C.1.
Ketentuan Umum
96. Ketentuan
umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak
dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau
beberapa pasal awal.
97.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari
satu pasal.
98.
Ketentuan umum berisi:
- a. batasan pengertian atau definisi;
- b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau
- c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
99.
Frasa pembuka dalam ketentuan umum
undang-undang berbunyi:
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
100.
Frasa pembuka dalam ketentuan umum
peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis
peraturannya.
101.
Jika ketentuan umum memuat batasan
pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka
masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan
huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
102.
Kata atau istilah yang dimuat dalam
ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di
dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya.
103.
Apabila rumusan definisi dari suatu
Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama
dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku
tersebut.
104.
Rumusan batasan pengertian dari suatu
Peraturan Perundangundangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan
Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan
materi muatan yang akan diatur.
105.
Jika suatu kata atau istilah hanya
digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk
suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi
definisi.
106.
Jika suatu batasan pengertian atau
definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan
pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan
harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di
dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
107.
Karena batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau
istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan
jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
107.
Penulisan huruf awal tiap kata atau
istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan
umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur,
penjelasan maupun dalam lampiran.
109.
Urutan penempatan kata atau istilah dalam
ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
- a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
- b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
- c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2.
Materi Pokok yang Diatur
110.
Materi pokok yang diatur ditempatkan
langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab,
materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan
umum.
111.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok
yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
C.3.
Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
112.
Ketentuan pidana memuat rumusan yang
menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi
norma larangan atau norma perintah.
113.
Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu
diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku
juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan
lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
114.
Dalam menentukan lamanya pidana atau
banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh
tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
115.
Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab
tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang
diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak
ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
116.
Jika di dalam Peraturan
Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana
ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa
pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi
ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal
yang berisi ketentuan penutup.
117.
Ketentuan pidana hanya dimuat
dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
118.
Rumusan ketentuan pidana
harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang
dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.
Dengan demikian, perlu dihindari:
- a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundangundangan lain. Lihat juga Nomor 98;
- b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
- c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus.
119.
Jika ketentuan pidana berlaku bagi
siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang.
120.
Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi
subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing,
pegawai negeri, saksi.
121.
Sehubungan adanya pembedaan antara tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi
dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau
kejahatan.
122.
Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan
secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif,
atau kumulatif alternatif.
123.
Perumusan dalam ketentuan pidana harus
menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau
alternatif.
124.
Jika suatu Peraturan Perundang-undangan
yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan,
mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
125.
Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang
merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur
tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada
Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya,
Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
126.
Tindak pidana dapat dilakukan oleh
orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
- a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau
- b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
C.4.
Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
127.
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru,
yang bertujuan untuk:
- a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
- b. menjamin kepastian hukum;
- c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
- d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
128.
Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab
Ketentuan Peralihan dan ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab
Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan
ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup.
129.
Di dalam Peraturan Perundang-undangan
yang baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau
penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
130.
Penyimpangan sementara terhadap ketentuan
Peraturan Perundangundangan berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
131.
Jika suatu Peraturan Perundang-undangan
diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan
mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada
di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai
berlaku pengundangannya.
132.
Mengingat berlakunya asas umum hukum
pidana, penentuan daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana.
133.
Penentuan daya laku surut tidak dimuat
dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret
kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi.
134.
Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau
hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut harus
memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud,
serta jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut.
135.
Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak
memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan
ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam
Ketentuan Umum Peraturan Perundangundangan atau dilakukan dengan membuat
Peraturan Perundangundangan perubahan.
C.5.
Ketentuan Penutup
136.
Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab
terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam
pasal atau beberapa pasal terakhir.
137.
Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
- a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
- b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
- c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
- d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
138. Penunjukan
organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan
bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang
diberi kewenangan untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai.
139. Bagi
nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai
nama singkat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
- b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
140. Nama
singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
141. Nama
Peraturan Perundang-undangan yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama
singkat.
142. Sinonim
tidak dapat digunakan untuk nama singkat.
143. Jika
materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan
perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan
Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru
harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi
muatan Peraturan Perundang-undangan yang lama.
144. Rumusan
pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat …(jenis
Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang
dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145. Demi
kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan
secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang
dicabut.
146. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai
berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
147. Jika
jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), cara
penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
148. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan disertai dengan keterangan mengenai status hukum
dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
149. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai
berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
150. Pada
dasarnya Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan
Perundang-undangan tersebut diundangkan.
151. Jika
ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan
tersebut pada saat diundangkan, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam
Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan:
- a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
- b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundangundangan lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi;
- c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan.
152. Tidak
menggunakan frasa ... mulai
berlaku efektif pada tanggal ...
atau yang sejenisnya, karena frasa ini
menimbulkan ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan
Perundang-undangan yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif.
153. Pada
dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi
seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik
Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah
Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
154. Penyimpangan
terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundangundangan dinyatakan secara tegas
dengan:
a.
menetapkan ketentuan dalam Peraturan
Perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya;
b.
menetapkan saat mulai berlaku yang
berbeda bagi wilayah negara tertentu.
155. Pada
dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan
lebih awal daripada saat pengundangannya.
156. Jika
ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih
awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai
berikut:
a. ketentuan
baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun
klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian
mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan
hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan
peralihan;
c. awal
dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih
dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai
diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan
Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan
perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
157. Saat
mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh
ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan
yang mendasarinya.
158. Peraturan
Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
159. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi
muatan Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
(bersambung)
(bersambung)
Sumber:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar